A. Karakteristik Prion
1. Tidak Mengandung Asam Nukleat
Prusiner (1998) menyatakan prion adalah partikel infeksius yang terdiri dari protein dan tidak memiliki asam nukleat. Tidak seperti bakteri, virus, atau jamur yang membawa materi genetik (DNA atau RNA), prion hanyalah protein yang tersusun dari asam amino. Ketidakberadaan informasi genetik ini menjadikan prion unik dan berbeda dari patogen lainnya. Walaupun tidak memiliki informasi genetik, prion tetap dapat menyebarkan infeksi melalui misfolding. Selain itu, karena tidak mengandung asam nukleat, maka prion tidak bisa dimusnahkan dengan metode yang umumnya efektif melawan patogen lain.
2. Bersifat Infeksius
Prion adalah protein yang awalnya tidak berbahaya namun mengalami misfolding menjadi bentuk infeksius. Bentuk ini kemudian memengaruhi protein normal di sekitarnya, mengubahnya menjadi prion juga, dan menciptakan efek domino. Proses ini berlanjut hingga akumulasi protein abnormal merusak jaringan otak ternak yang terinfeksi dan mengakibatkan kondisi fatal.
3. Masa Inkubasi Panjang
Penyakit akibat prion biasanya membutuhkan waktu lama untuk menunjukkan gejala, dengan masa inkubasi yang bisa berlangsung bertahun-tahun. Hal ini sering menyebabkan infeksi tidak terdeteksi hingga menyebar ke banyak hewan.
4. Tidak Memicu Respons Imun
Prion tidak menimbulkan respons imun seperti patogen lain, sehingga tubuh hewan atau manusia tidak dapat mengenali dan melawannya. Prion berkembang dengan mengubah protein sehat menjadi prion baru, mempercepat penyebaran di dalam tubuh.
5. Resisten terhadap Panas dan Desinfektan
Salah satu karakteristik paling mengkhawatirkan dari prion adalah ketahanannya terhadap panas tinggi dan desinfektan standar. Proses pemanasan yang biasanya efektif membunuh bakteri atau virus tidak mampu menghancurkan prion. Untuk prion, suhu yang tinggi ini tidak efektif sehingga dekontaminasi membutuhkan metode lebih ekstrem, seperti kombinasi panas dengan bahan kimia kuat (natrium hidroksida atau pemutih klorin). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prion tertentu tetap infeksius meskipun telah terpapar suhu 134 hingga 138 derajat Celsius selama beberapa jam dalam proses autoklaf. Brown et al. (2000) menyatakan bahwa prion yang diadaptasi pada hamster dapat bertahan pada suhu sangat tinggi hingga 600°C, sehingga mengindikasikan adanya komponen anorganik dalam mekanisme replikasinya.
B. Mekanisme Prion
Berikut adalah beberapa mekanisme prion yang terkait dengan infeksi dan penyebarannya :
1. Menginfeksi Sistem Saraf
Prion bekerja dengan menginfeksi sistem saraf terutama di otak. Mekanisme infeksi prion dimulai dengan misfolding atau perubahan bentuk protein normal. Protein yang mengalami misfolding akan menularkan bentuk patologisnya kepada protein lain dan mengubahnya menjadi prion yang juga infeksius. Setelah menginfeksi sistem saraf, prion mulai menumpuk dan merusak sel-sel otak, serta menyebabkan akumulasi yang membentuk rongga-rongga kecil dalam jaringan otak. Akumulasi ini memberikan tampilan seperti spons yang menjadi ciri khas penyakit spongiform encephalopathy. Spongiform encephalopathy adalah istilah umum untuk sekelompok penyakit neurodegeneratif yang disebabkan oleh prion. Contoh spesifik dari penyakit spongiform encephalopathy antara lain Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD), Scrapie, dan Kuru. Semua penyakit ini disebabkan oleh akumulasi prion yang abnormal di dalam otak, menyebabkan kerusakan sel serta gangguan fungsi neurologis, seperti gangguan koordinasi dan perubahan perilaku. Namun gejala ini sering kali tidak tampak hingga penyakit mencapai tahap lanjut. Oleh karena itu, pencegahan dan deteksi dini sangat penting untuk mengurangi risiko sebelum mengakibatkan terjadinya hal yang lebih fatal.
2. Penyebaran Antar Ternak
Mekanisme penyebaran prion antar ternak melibatkan beberapa langkah kompleks yang dimulai dengan konsumsi makanan atau pakan terkontaminasi. Ternak dapat terinfeksi dengan mengonsumsi daging, organ, atau produk sampingan dari hewan yang sudah terinfeksi prion. Selain itu, prion dapat bertahan dalam lingkungan (tanah atau bahan organik) untuk waktu yang lama, sehingga ternak yang terpapar lingkungan terkontaminasi berisiko menghirup atau bersentuhan langsung dengan prion. Setelah prion masuk ke dalam tubuh ternak, prion dapat mengubah protein normal menjadi bentuk infeksius melalui proses yang dikenal sebagai misfolding. Penyebaran juga dapat terjadi melalui kontak langsung antara ternak terinfeksi dan yang sehat, misalnya melalui air liur, urin, atau kotoran. Jika ternak yang terinfeksi tidak dipisahkan dari ternak sehat, infeksi dapat menyebar dalam kelompok ternak dan berpotensi menyebabkan epidemi yang mengancam kesehatan ternak. Oleh karena itu, pemantauan dan pengelolaan risiko yang ketat di industri peternakan sangat penting untuk mencegah penyebaran prion.
3. Penyebaran dari Ternak ke Manusia (Zoonosis)
Prion yang menyebabkan penyakit pada ternak dapat menular ke manusia dalam bentuk varian Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD), terutama melalui konsumsi produk daging dari ternak terinfeksi. Meskipun kasus ini jarang terjadi, risiko zoonosis tetap ada jika produk hasil ternak terkontaminasi prion tidak terdeteksi selama proses distribusi. Prion memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kondisi ekstrem dan tidak dapat dihilangkan dengan metode sterilisasi biasa, sehingga membuatnya semakin sulit untuk terdeteksi. Prion yang masuk ke dalam tubuh manusia akan berinteraksi dengan protein normal, mengubah strukturnya, dan menyebabkan akumulasi protein abnormal dalam jaringan saraf. Seiring waktu, akumulasi ini dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, yang berujung pada gejala neurodegeneratif dan berakibat fatal. Oleh karena itu, praktik keamanan pangan dan pengawasan ketat terhadap prion sangat penting untuk melindungi kesehatan publik serta meminimalkan risiko penyebaran zoonosis ini.
C. Penyakit Prion pada Ternak
Berikut adalah beberapa jenis penyakit prion yang paling dikenal pada ternak :
إرسال تعليق