Kehilangan sosok ayah bagi anak-anak atau kehilangan suami bagi seorang istri merupakan ujian berat yang sulit dilewati. Puisi berjudul Tubani ini ditulis dengan membayangkan diri sebagai anggota keluarga yang ditinggalkan, mencoba menggambarkan perjalanan melawan rindu yang mendalam, dan berusaha belajar menerima kenyataan setelah seratus hari kepergian sang tercinta. Dengan sentuhan diksi penuh kerinduan dan doa, puisi ini juga menekankan cinta abadi yang tetap hidup di dalam hati. Cinta tersebut menjadi kekuatan untuk melangkah menuju penerimaan, kedamaian, dan pengharapan akan kebahagiaan almarhum di surga ilahi.
TUBANI
Tiada pernah kisah hari berhenti
Usai kisah mesti bersambung kembali
Berlalu sudah masa seratus hari
Awalan hidup tanpamu menemani
Noktah bayangmu masih tetap bersemi
Idamkan hadirmu nyata dalam mimpi
Terus melangkah meski berat di hati
Usap air mata mulai bangkit lagi
Beratap langit senja yang memayungi
Ada bayangmu dalam doa yang suci
Nukil sinyal pesan yang teresonansi
Isyaratkan pisah hanyalah ilusi
Teladan bayangmu tetap menyertai
Ungkapan petuah menginvasi diri
Beribu nilai yang pernah kau ajari
Akan menjadi penuntun laju hari
Nampak jelas kenangan dalam memori
Indahnya bersamamu setiap hari
Terpahat dalam ingatan yang abadi
Untuk selamanya kau tetap di hati
Bersama bayangmu yang kini temani
Alun doa teruntai setiap hari
Nadi cinta pun berdenyut tanpa henti
Inginkanmu tenang di surga ilahi
Permana, A. (2024). Puisi: Tubani. https://hokigrey.com/2024/11/puisi-tubani.html
Post a Comment